Cogito Ergo Sum Rene Descartes
Devi Fatimah
Mahasiswi Institut Agama Islam Negeri Kediri
Abstrak
Tujuan penulisan artikel ini adalah realisasi
ide saya sebagai upaya eksposisisi tokoh serta pemikirannya terhadap etika
logika. Rene Descartes adalah salah satu tokoh pemikir abad modern aliran
rasionalisme. Ia adalah seorang yang lahir dari kalangan elit. Keluarganya
adalah seorang Katolik yang taat. Pada studi pun ia di sekolahkan di sekolah
Katolik. Sering berkeliling dunia dalam menuntut pengetahuan terakhir ia
belajar di Universitas Poitiers. Ia
menghabiskan masa hidupnya di Swedia tatkala memenuhi undangan dari ratu
Christine yang ingin belajar dari Descartes. Ia mencurahkan perhatiannya pada
banyak bidang ilmu. Ia menghasilkan banyak karya diantaranya adalah Discours
de La Methode. Ia bertolak dari
pemikiran masa lalu bahwa sumber pemikiran adalah iman. Ia merasa tidak puas
dengan hal ini mulailah ia merancang pemikiran bahwa hal yang utama adalah distinctly
dan clearly. Orientasi Descartes hanya kepada akal. Akal adalah
sumber kebenaran utama. Mulailalah ia melakukan penelitian bahwa hal yang tidak
dapat diragukan adalah “saya sedang ragu”. Saya ragu karena saya berpikir. Saya
berpikir maka saya ada. Dari sinilah terlihat kemenangan akal (rasio) atas dominasi
iman.
Kata Kunci : Rene Descartes,distinct, aku berpikir, keragu-raguan.
PENDAHULUAN
Rene Descartes (1596-1650) adalah seorang
filsuf asal Prancis. Yang ketika berusia 10 tahun ia bersekolah di Jesuit
College La Universitas Poitiers,(The Jesuit College of Henri IV) La Fleche di
Anjou. Ia mulai belajar ilmu pengetahuan setelah menginjak sekolah ini.
Sebagai seorang Katolik yang taat ia mematuhi keinginan keluarganya untuk
belajar di tempat tersebut. Setelah usai pembelajaran ia merasa kurang puas
akan pengetahuan yang ia peroleh kemudian ia pergi ke Paris untuk kembali
belajar di Universitas Poitiers pada tahun 1618. Descartes berkeliling dunia
dalam menimba ilmu pengetahuan tetapi pada akhirnya ia menghabiskan masa
hidupnya di Swedia di sana lah ia mencurahkan segala perhatiannya terhadap
dunia sains terlihat hasilnya diantarnya adalah Discours de La Methode (1637)
yang berarti uraian tentang metode yang isinya melukiskan perkembangan intelektualnya.
Di dalam karyanya inilah, ia menyatakan ketidakpuasannya atas filsafat dan ilmu
pengetahuan yang menjadi bahan penyelidikannya.
Kehidupan
masa lalu mengantarkan sebuah pemikiran baru dari sosok Descartes sebab
keterpurukan pemikiran masa lalu dimana dogma menjadi payung penguasa pemikiran
saat itu. Kejadian itu tepat terjadi pada Abad pertengahan yaitu abad ke-17.
Hal ini lah yang menjadi sebuah landasan utama keinginan desacartes untuk memyelenggarakan serta merealisasikan
pemikiranya yang ia sebut dengan Cogito Ergo Sum. Dalam metode keragu-raguan inilah ia melakukan eksperimen
yaitu ia mulai meragukan segalanya mulai dari meragukan adanya dunia, meragukan
adanya Tuhan, hingga ia pun meragukan dirinya sendiri. Agar mencapai sebuah
pembuktian yang clearly dan distinctly. Hal ini ia lakukan
semata-mata bukan untuk mempertahankan keragu-raguan melainkan untuk memperoleh
hal yang pasti. Sehingga tidak terdapat lagi keraguan dalam pemikiran manuasia.
Descartes pula telah mencari hakikat sesuatu dan hakikat sesuatu itu dapat ia
buktikan melalui jalan-jalan pengertian diantaranya melalui substansi yaitu apa
yang berada sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk
berada. Kemudian atribut yaitu sifat asasi, yaitu ciri khas. Tiap substansi
memiliki sifat asasinya sendiri yang menetukan hakekat substansi itu. Sifat
asasi ini mutlak perlu dan tidak dapat ditiadakan, sifat asasi ini adanya
diandaikan oleh segala sifat yang lain. Sedangkan modus adalah sifat substansi
yang mutlak dan tidak dapat berubah.
1.Sekilas tentang kehidupan Rene Descartes
Rene
Descartes lahir pada tanggal 31 Maret 1596 di La Haye Totiraine, sebuah daerah
kecil di Prancis Tengah. Ia adalah anak ketiga dari Joachim Descartes seorang anggota
penasihat parlemen Bretagne dan Jeanne Broachard. Ia dilahirkan disebuah
keluarga borjuis yang memiliki status sosial tinggi. Riwayat keluarga Descartes
berasal dari Poiotu. Anggota keluarganya banyak yang menjadi penjabat
pemerintahan sebagai pemungut pajak dan anggota parlemen.[1] Ketika
berusia satu tahun, ibunya meninggal. Peristiwa ini sangat membekas pada
dirinyadan berakibat timbulnya sifat selalu khawatir di kemudian hari.[2]
Sebagai
keluarga Katolik yang taat ia disekolahkan di Jesuit College La Universitas
Poitiers,(The Jesuit College of Henri IV) La Fleche di Anjou, pada usia 10
tahun.[3] Sebelumnya,
kakaknya pun, Pierre, pernah bersekolah disana. Kurikulum La Fleche mendasarkan
diri pada silabus-silabus Jesuit dengan sangat detail. Seperti juga
sekolah-sekolah Jesuit lainnya, pada tahun 1600-an, La Fleche juga
sangat Skolastik,[4]
kurikulum pendidikannya dibagi dalam 13 kelas, ada kelas persiapan (prepatory
studies) selama enam tahun, kelas filsafat selama tiga tahun , dan empat
tahun untuk teologi.
Descartes
merasa bahwa semua pengetahuan yang ia dapatkan kurang memuaskan. Pada tahun
1614, ia meninggalkan La Fleche dan pindah ke Paris. Di sini, ia masuk
Universitas Poitiers pada tahun 1614 untuk mempelajari hukum yang berfokus pada
hukum sipil dan hukum kanonik. Pada tahun 1618, Ia pergi ke Belanda dan masuk
dinas militer serta bergabung dengan pasukan Pangeran Maurice de Nassa sebagai
tentara.[5]
Descartes biasa dikenal dengan Cartesius.[6] Tahun
1621, Descartes berhenti dari medan perang dan setelah berkelana ke Italia,
lalu ia menetap di Paris (1625). Tiga tahun kemudian, ia kembali masuk tentara,
tetapi tidak lama ia keluar lagi dan akhirnya memutuskan untuk hidup di negeri
Belanda. Di sinilah, ia menetap selama 20 tahun (1629-1649) dalam iklim
kebebasan berpikir. Di negeri inilah, ia dengan leluasa menyusun karya-karyanya
di bidang ilmu dan filsafat. Meskipun Descartes tidak pernah menikah, tetapi
dia mempunyai seorang anak perempuan kandung yang meninggal pada usia lima
tahun, peristiwa ini menurutnya merupakan satu kesedihan paling dalam selama
hidupnya.
Descartes
menghabiskan masa hidupnya di Swedia tatkala ia memenuhi undangan Ratu
Christine yang menginginkan pelajaran-pelajaran darinya. Pelajaran-pelajaran
yang diharuskan diajarkan setiap jam lima pagi menyebabkan Descartes jatuh
sakit, yang menjemput ajalnya pada 11 Februari 1650 di usia 54 tahun, sebelum
ia sempat menikah. Jenazahnya kemudian dipindahkan ke Prancis pada 1667, dan
tengkoraknya disimpan di Museum d’Historie Naturelle, Paris.
Selain
mencurahkan perhatiannya dalam bidang filsafat, Descartes juga dikenal sebagai
seorang Polymath, yaitu seorang yang mempunyai perhatian luas dalam bidang ilmu
pengetahuan (sains), khususnya dalam ilmu pasti. Sumbangannya yang besar dalam
dunia ilmu adalah keberhasilannya menemukan ilmu ukur koordinator
(coordinatgeometri). Karya-karya Descartes cukup banyak. Beberapa karyanya,
antara lain adalah: Discours de la Methode (1637) yang berarti uraian
tentang metode yang isinya melukiskan perkembangan intelektualnya. Di dalam
karyanya inilah, ia menyatakan ketidakpuasannya atas filsafat dan ilmu
pengetahuan yang menjadi bahan penyelidikannya. Dalam bidang ilmiah, tidak ada
sesuatu pun yang dianggap pasti. Semuanya dapat dipersoalkan dan pada
kenyataannya memang dipersoalkan juga. Satusatunya pengecualian adalah ilmu
pasti. Demikian menurut Descartes.[7]
Descartes juga memiliki karya terkenal lainnya yaitu Meditationes de Prima
Philosophia (1641), Taite des Passions (1649), Dioptrique, la
Geometrie, les Meteores, Prinsipia, De la Formation du Foetus.[8]
2.Logika Cogito Ergo Sum Rene Descartes
Bertolak dari kehidupan masyarakat dimana
dominasi logika dikuasai oleh dogma. Aspirasi masyarakat dibatasi agar
senantiasa relevan dengan logika dogma. Descartes tahu bahwa tidak mudah
meyakinkan tokoh-tokoh Gereja bahwa dasar filsafat haruslah akal. Tokoh-tokoh
gereja pada waktu itu tetap yakin bahwa dasar pemikiran haruslah iman terbukti
dalam jargon credo ut intelligam dari Anselmus itu. Untuk meyakinkan
orang bahwa dasar filsafat haruslah akal kemudian Descartes menyusun
argumentasinya dalam metode cogito Descartes.[9]
Berawal dari keinginan untuk menemukan metode yang ampuh dalam mencari
kepastian hakiki suatu pengetahuan dan memastikan bahwa sesuatu yang ada itu
benar-benar ada dan bukan hanya khayalan semata. Descartes membangun suatu
fondasi dasar yang ia sebut sebagai Metode Keraguan. Suatu metode yang dia
awali dengan upaya menyangsikan segala sesuatu. Sebagaimana yang ditulis
oleh Sakban Rosidi; “Cartesian Method starts from doubting everything. “De
Omnibus dubitandum”. Thinking is but to doubt everything. On the principles of
human knowledge, Descartes asserted: First, that in order to seek the truth, it
is necessary once in the course of our life to doubt. As far as possible, of
all things. Second, that we ought also consider as false all that is doubtful.
Descartes bertolak dari kenyataan di mana kita
(manusia) sering tertipu oleh pengamatan, seperti Argumen Plato, yang
menyatakan bahwa tongkat yang terdapat di kolam yang bergelombang kelihatan
bengkok, jalan lurus di ujungnya kelihatan bertemu, dan seterusnya. Descartes
terus meragukan segala hal, meski sekecil apapun. Hal ini sebagaimana yang
diungkapkan Descartes: “… I suppose that everything I see is false. I
believe that none of what my deceitful memory represents ever existed. I have
no sense whatever. Body, shape, extension, movement, and place are all
chimeras. What then will be true? Perhaps just the single fact that nothing is
certain.”
Keraguan Descartes tampaknya bisa dipahami,
karena bisa saja ada sesuatu (oleh Descartes disebut dengan “si jenius atau
setan jahat”) yang bisa menipu atau memalsu penalaran, sehingga sesuatu yang
salah akan tampak sebagai kebenaran. Descartes mengalami kesulitan untuk
membuktikan dan mengetahui adanya dunia luar dengan bertolak dari gagasan “cogito
ergo sum” nya. Dan untuk membuktikan bahwa ia tidak tertipu tentang adanya
dunia luar, maka ia bertolak dari adanya eksistensi Tuhan yang menjamin, karena
menurutnya hanya Tuhan yang dapat menjamin bahwa:
a.
ide-ide kita yang jelas dan terpilah memang benar
b. kita tidak tertipu oleh setan jahat.
Descartes menggunakan argumen ontologis
tentang adanya Tuhan dari Anselmus sebagai dasar metodenya. Allah sebagai
penyebab ide yang sempurna dalam pemikiran kita. Begitu Descartes membuktikan
adanya eksistensi Tuhan, maka Descartes merasa memiliki dasar untuk mengakui adanya
tubuh kita yang berbeda dari rasio. bahwa ide kita mengenai dunia luar adalah
benar. Setelah meragukan segala hal, bahkan keberadaannya sendiri, maka ada
sesuatu yang tidak dapat diragukan keberadaannya (saya) yang sedang ragu itu.[10] Descartes
mulai berfikir keras. Ia meragukan segalanya, ia meragukan adanya dunia, adanya
Tuhan, bahkan adanya dirinya. “Benarkah tuhan ada? Benarkah dunia ada? Benarkah
badanku ada?” [11]
Rene Descartes mulai merealisasikan pemikirannya karena pencariannya terhadap
suatu hal yang distinct.
Cogito Ergo Sum” Ia memahami sebagai aturan-aturan yang dapat dipakai untuk
menemukan fundamentum certum et
inconcussum veritatis (kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh) Metode
itu disebutnya le doute methodique (metode kesangsian). Menurut
Descartes “ melontarkan persoalan metafisis untuk menemukan sebuah fundamen
yang pasti, yaitu suatu titik yang tidak bisa goyah seperti aksioma matematika
Untuk membuktikan titik kepastian itu, Descartes memulai dengan metode
kesangsian yaitu menyangsikan apakah asas-asas matematika dan
pandangan-pandangan metafisis yang berlaku tentang dunia material dan dunia
rohani itu bukan tipuan belaka dari semacam iblis yang sangat cerdik, seperti
kita benar-benar tertipu habis-habisan sehingga kita betul-betul diganggu dengan khayalan-khayalan, lalu pegangan apa yang
kita bisa lakukan ? Menurut Descartes adalah kesangsian, bukanlah hasil tipuan.
Semakain kita dapat menyangsikan segala sesuatu, apakah benar ditipu atau
ternyata tidak, termasuk menyangsikan bahwa kita tidak dapat menyangsikan,
semakin kita mengada. Justru kesangsianlah yang membuktikan kepada diri kita
bahwa kita ini nyata. Selama ini kita masih sangsi, kita akan merasa makin
pasti bahwa kita nyata-nyata ada. Jadi, meski dalam tipuan yang cerdik,
kepastian bahwa “aku yang menyangsikan” itu ada dan tidak bisa dibantah.
Menyangsikan adalah berpikir, maka kesangsian akan eksistensiku dicapai dengan
berpikir.[12]
Pertama Descartes mulai meragukan segala yang dapat diindera. Ia meragukan adanya
badannya sendiri. Kejadian ini menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi,
halusinasi, ilusi dan juga pada pengalaman dengan roh halus ada yang
sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat keadaan ini seseorang dapat
mengalami sesuatu seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya. Kemudian
Descartes kembali melakukan pengujian yang kedua, yaitu gerak,
jumlah, dan besaran (volume). Kemudian descartes kembali meragukan
hal ini. Yang tiga macam itu adalah matematika. Kata descartes,
matematika dapat salah. Saya sering salah menjumlah (angka), salah mengukur
(besaran), juga demikian pada gerak. Jadi, ilmu pastipun masih dapat diragukan.
Sampailah ia pada langkah ketiga metode cogito. Terdapat satu hal
yang tidak dapat diragukan oleh Descartes yaitu aku sedang ragu hal ini
dianggap begitu distinct. Aku sedang ragu itu disebabkan aku berpikir.
Kalau begitu aku berpikir pasti
ada dan benar. Jika aku berpikir ada, berarti aku ada sebab yang
berpikir itu aku.[13]
Cogito Ergo Sum ”Aku Berpkir Maka Aku Ada” Descartes sangat yakin pada kemampuan rasio
untuk mencapai kebenaran. Rasio menurutnya
adalah kesadaran (Cogito) . Sejak Descartes memunculkan konsep tentang
kesadaran, para filosuf mulai tekun
menggeluti masalah kesadaran. Pertanyaan yang ingin dijawab dari tema kesadaran
benar-benar ada, peran apa yang
dimainkannya dalam usaha memperoleh pengetahuan ? Apakah pengetahuan yang
diperoleh melalui kesadaran benar-benar absah ?
Karena Descartes telah mempelopori kajian mengenai kesadaran di zaman
Modern. Dalam karya Descartes, ia menjelaskan pencarian kebenaran melalui
metode keraguraguan, karyanya yang berjudul A Discours on Methode
mengemukakan perlunya memperhatikan empat hal berikut :
1. Kebenaran baru dinyatakan sahih apabila
jika telah benar-benar inderawi dan realitasnya telah jelas dan tegas, sehingga
tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
2. Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah
itu sampai sebanyak mungkin sehingga tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu
merobohkannya.
3. Bimbinglah pikiran dengan teratur dengan
memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui secara bertahap sampai pada
yang paling sulit dan kompleks.
4. Dalam proses pencarian dan pemeriksaan
hal-hal sulit selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna dan
pertimbangan yang menyeluruh sehingga diperoleh keyakinan bahwa tidak ada
satupun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu. [14]
Terlihat jelas bahwa Descartes memulai
filsafat dari metode, metode keraguan itu bukanlah tujuannya. Tujuan metode ini
bukanlah untuk mempertahankan keraguan. Sebaliknya metode ini bergerak dari
keraguan itu sendiri untuk menuju kepastian. Keraguan Descartes hanya ditujukan
untuk menjelaskan perbedaan sesuatu yang dapat diragukan dan sesuatu yang tidak
dapat diragukan. Kebenaran yang dihasilkan oleh rasio tetap diambang keraguan,
agar terbebas dari yang meragukan, akhir dari pencarian kebenaran dan sebagai
awal menyelidikinya, kebenaran harus melibatkan Tuhan. Yang paling fundamental
dalam mencari kebenaran adalah senantiasa merujuk kepada prinsip Cogito ergo
sum (saya berfikir maka saya ada), karena keyakinan dalam diri sendiri,
kebenaran lebih terjamin dan terjaga. Dalam diri sendiri terdapat tiga ide
bawaan saya sejak lahir, yaitu :
1. Pemikiran; sebab saya memahami diri saya
sebagai makhluk berfikir, harus diterima bahwa juga bahwa pemikiran merupakan
hakekat saya.
2. Allah sebagai wujud yang sama sekali
sempurna; karena saya mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab sempurna
untuk ide itu, karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya, wujud yang
sempurna itu tidak lain dari pada Allah.
3. Keluasan; saya mengerti materi sebagai
keluasan atau eksistensi sebagaimana hal ini dilukiskan dan dipelajari oleh
ahli ilmu ukur.
Descartes
juga telah mencari hakikat sesuatu, akan tetapi agar hakikat segala sesuatu
dapat ditentukan maka dipergunakan pengertian-pengertian tertentu, yaitu
substansi, atribut atau sifat dasar dan modus.
Substansi adalah apa yang berada sedemikian rupa
sehingga tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada. Substansi yang
dipikirkan seperti itu sebenarnya hanya ada satu saja, yaitu Allah. Segala
sesuatu yang lain hanya dapat dipikirkan
sebagai berada dengan pertolongan Allah. Jadi sebutan substansi sebenarnya
tidak dapat dengan cara yang sama diberikan kepada Allah. Hal-hal bendawi dan
rohani yang diciptakan memang dapat juga dimasukkan ke dalam pengertian
substansi itu, dan dalam praktiknya Descartes memasukkan jiwa dan materi dalam
pengertian substansi juga. Pemahaman terhadap substansi di sini penulis mencoba
memaparkan memakai bahasa sederhana bahwa substansi ini adalah keberadaan
sesuatu tetapi sesuatu tersebut tidak memerlukan pertolongan atau bantuan
apapun dan siapapun atas keberadaannya, dan yang termasuk dalam substansi di
sini adalah Allah karena Allah merupakan Zat yang tidak memerlukan pertolongan
pada sesuatu apapun atas keberadaannya. Namun dalam praktiknya Descartes juga
memasukkan jiwa dan materi ke dalam pengertian Substansi juga. Atribut adalah
sifat asasi. Tiap substansi memiliki sifat asasinya sendiri yang menetukan
hakekat substansi itu. Sifat asasi ini mutlak perlu dan tidak dapat ditiadakan,
sifat asasi ini adanya diandaikan oleh segala sifat yang lain. Modus adalah
segala sifat substansi yang tidak mutlak perlu dan yang dapat berubah. Dari
penjelasan tersebut di atas jelaslah bahwa segala substansi bendawi memilki
sebagai atribut atau sifat asasi yaitu keluasan dan memiliki sebagai modus
(modi) yaitu bentuk dan besarnya yang lahiriyah serta gerak dan perhentiannya.
Dengan demikian maka segala benda tidak memiliki ketentuan yang kualitatif,
yang menunjukkan kualitas atau mutunya. Seluruh realitas bendawi dihitungkan ke
kuantitas atau bilangan. Oleh karena itu segala hal yang bersifat bendawi pada
hakekatnya adalah sama, perbedaanperbedaannya bukan mewujudkan hal yang asasi
melainkan hanya tambahan saja. Descartes memandang bahwa manusia sebagai
makhluk dualitas (substansi) yaitu jiwa
Sebagai pemikiran dan tubuh sabagai keluasan.
Dia mencontohkan tubuh sebagai mesin dan jiwa menjalankannya. Karena setiap
substansi yang satu sama lain saling terpisah dari substansi lain, sudah tentu
ia menganut dualism tentang manusia. Kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh
atas jiwa dan sebaliknya. Satu kali ia mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan
sebaliknya. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh dan jiwa
berlangsung dalam glandula ninealis yaitu sebuah kelenjar kecil yang letaknya
di bawah otak akan tetapi, akhirnya pemecahan ini tidak memadai baginya. Roh
atau jiwa memilki sebagai sifat asasinya yaitu pemikiran dan memiliki sebagai
modinya yaitu pikiran-pikiran individual, gagasan-gagasan dan gejala-gejala
kesadaran yang lain. Roh atau jiwa pada hakekatnya berbeda dengan benda, sifat
asasi roh adalah pemikiran sedang asasi benda adalah keluasan. Roh dapat
dipikirkan dengan jelas dan terpilah-pilah, tanpa memerlukan sifat asasi benda.
Oleh karena itu secara apriori tiada kemungkinan yang satu mempengaruhi yang
lain, sekalipun dalam praktek tampak ada pengaruhnya, jiwa telah memiliki
sebagai bawaannya.[15]
PENUTUP
Descartes
adalah seorang filsuf modern yang lahir dari kalangan elit yang taat beragama
kristen ia dilahirkan ditengah barkembangnya pemahaman bahwa iman adalah sumber
perolehan pengetahuan. Dimulai dari sinilah Descartes mulai menggagas
pemikiranya untuk mencari sebuah kebenaran yang distinct sebab ia yakin
bahwa sumber kebenaran adalah akal. Descartes mengembangkan pemikiran melalui
beberapa eksperimen diantaranya yang terkenal ia mengenakan metode Cogito
Ergo Sum teori yang populer ia kemukakan dikalangan masyarakat. Agar
masyarakat percaya bahwa sumber kebenaran adalah akal maka ia mulai meragukan
segala sesuatu mulai dari ia meragukan adanya dunia, ia juga meragukan adanya
Tuhan, sampai pada ia meragukan adanya dirinya sendiri.
Ia
memikirkan bahwa suatu hal yang dapat terbukti tidak meragukan hanya satu yaitu
“Aku Berpikir Maka Aku Ada” pemikiran inilah yang ia kembangkan dalam pemikiran
masyarakat agar masyarakat tidak
mengambil sebuah kesimpulan yang gegabah maka pemikiranya ini ia
sempurnakan. Hingga dapat ia tentukan bahwa sesuatu yang tidak meragukan itu
adalah memliki substansi, atribut, dan modus.
DAFTAR PUSTAKA
Ngismatul choiriyah. Juni 2014. Rasionalisme Rene Descartes. Vol . 13 No. 2
Tafsir, Ahmad. 2012. filsafat umum akal dan hati sejak thales
sampai capra. PT Remaja Rosdakarya Offset: Bandung
Muhammad Bahar
Akkase Teng, Desember 2016, “Rasionalis Dan Rasionalisme Dalam Perspektif Sejarah”, JURNAL ILMU BUDAYA. Vol. 4 No.
2
Cahaya khaeroni, 2014, didaktika religia: epistemologi
rasionalisme rene descartes dan relevansinya terhadap pendidikan islam, Vol
2 No. 2
Clarke, Desmond. 2006. Descartes: a Biography. Cambridge Press: New
York.
Zubaedi. 2007. filsafat barat. Ar-Ruzz Media Group: Jogjakarta
Alfan,Muhammad. 2013. filsafat
modern. Pustaka setia: Bandung.
Sorrel, Tom. 1986. Descartes: a
Very Short Introduction. Oxford University Press: New York
Muhammad Bahar
Akkase Teng, Desember 2016, “Rasionalis Dan Rasionalisme Dalam Perspektif Sejarah”,
JURNAL ILMU BUDAYA. Vol. 4 , No. 2
[1] Desmond Clarke, Descartes: a Biography,
(New York: Cambridge Press,2006), hlm. 9.
[2] Zubaedi, filsafat barat, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media Group, 2007), hlm. 17.
[3] Muhammad Alfan, filsafat modern, (Bandung:
pustaka setia, 2013), hlm. 49.
[4] Tom Sorrel, Descartes: a Very Short
Introduction, (New York: Oxford University Press,1986), hlm. 7.
[5] Ibid, hlm. 50.
[6] Muhammad
Bahar Akkase Teng, Desember 2016, “Rasionalis
Dan Rasionalisme Dalam Perspektif Sejarah”, JURNAL ILMU BUDAYA. Vol. 4 , No. 2, 17
[7] Cahaya khaeroni, 2014, didaktika
religia: epistemologi rasionalisme rene descartes dan relevansinya
terhadap pendidikan islam, Vol 2 No. 2, 185-186
[8] Ibid, hlm. 238.
[9] Ahmad tafsir, filsafat umum akal dan
hati sejak thales sampai capra, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset,
2012), hlm. 129.
[10]Cahaya khaeroni, 2014, didaktika
religia: epistemologi rasionalisme rene descartes dan relevansinya
terhadap pendidikan islam, Vol 2 No. 2, 189-190
[11] Ngismatul choiriyah, Juni 2014, Rasionalisme
Rene Descartes, Vol 13 No 2, 239
[12] Cahaya khaeroni, 2014, didaktika
religia: epistemologi rasionalisme rene descartes dan relevansinya
terhadap pendidikan islam, Vol 2 No. 2, 189-190
[13] Ahmad tafsir, filsafat umum akal dan
hati sejak thales sampai capra, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset,
2012), 129-133
[14] Muhammad
Bahar Akkase Teng, Desember 2016, “Rasionalis
Dan Rasionalisme Dalam Perspektif Sejarah”, JURNAL ILMU BUDAYA. Vol. 4 , No. 2, hlm. 18-19.
[15] Ngismatul choiriyah, Juni 2014, Rasionalisme
Rene Descartes, Vol 13 No 2, 240-242
Komentar
Posting Komentar